Kopi TIMES

Mengenal Cashless Society dan Budaya Konsumsi

Selasa, 23 Mei 2023 - 18:34
Mengenal Cashless Society dan Budaya Konsumsi Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas.

TIMES BENGKULU, PADANG – Cashless society atau masyarakat non tunai adalah revolusi teknologi finansial (fintech) pada garis revolusi 4.0 yang merjuk kepada masyarakat yang melakukan pembayaran menggunakan kartu digital maupun elektronik. Swedia misalnya dengan masyarakat non tunai terbesar di dunia.

Uang tunai sekarang digunakan dalam kurang dari 15 persen transaksi di negara itu, dan nilai uang tunai yang beredar telah menurun secara signifikan di abad ke-21, sekarang mewakili sekitar 1 persen dari PDB. Pengecer dan restoran Swedia sekarang diizinkan untuk menolak pembayaran tunai hanya dengan memasang tanda. Lebih dari separuh cabang bank Swedia tidak lagi menangani uang tunai.

Untuk memfasilitasi transisi menuju non tunai, bank sentral di beberapa negara telah memperkenalkan mata uang digital yang didukung pemerintah untuk menggantikan atau melengkapi uang kertas dan koin. Cashless society terbentuk ketika munculnya suatu kondisi di mana orang-orang telah meninggalkan pembayaran secara tunai dalam setiap aktivitas ekonomi maupun sosial. Cashless society merupakan bagian dari keadaan masyarakat digital yang di mana interaksi yang dialami manusia telah digantikan dengan instrumen digital dalam setiap lini kehidupan. 

Pendukung masyarakat tanpa uang tunai berpendapat bahwa transaksi digital lebih nyaman bagi pelanggan dan bisnis dan tanpa uang tunai akan mengurangi banyak kegiatan kriminal. Mereka juga berpendapat bahwa tren menuju non tunai tidak dapat dihentikan, mengingat meningkatnya digitalisasi ekonomi dan preferensi konsumen yang semakin besar untuk melakukan bisnis sehari-hari dengan perangkat seluler.

Namun, tren tersebut didorong oleh bank yang dengan sengaja membuat transaksi tunai menjadi kurang nyaman bagi nasabahnya (misalnya dengan menutup cabang dan menghapus ATM) untuk mendorong penggunaan layanan digital yang lebih menguntungkan. Pandemi virus corona global yang dimulai pada tahun 2020 juga berkontribusi besar terhadap peningkatan transaksi tanpa sentuhan dan tanpa uang tunai.

Tidak seperti negara barat, adopsi pembayaran digital di negara Asia sangatlah lambat kecuali India, Singapura, dan China sebagai negara yang paling tinggi menggunakan cashless di Asia. Indonesia misalnya, BPS menunjukkan bahwa pembayaran secara tunai masih mendominasi dengan total 73% dibanding pembayaran tunai.  

Kendati mekanisme pembayaran untuk produk dan layanan telah mengalami perubahan luar biasa selama dekade terakhir, dengan permintaan saat ini untuk transaksi digital dan tanpa uang tunai di seluruh dunia. Masyarakat banyak yang merasakan kemudahan dari transaksi berbasis digital yang sangat cepat, efektif, dan efisien. Akan tetapi, kesiapan menempuh masyarakat non tunai juga tengah didera oleh berbagai permasalahan diantaranya adalah keamanan dan privasi sebagai alasan utama rendahnya atau lambatnya penggunaan pembayaran digital teknologi. Ketidakamanan, privasi, dan risiko yang dirasakan sering disebut sebagai hambatan adopsi teknologi. Bagi masyarakat yang masih mengalami gagap teknologi, ia akan mengalami cultural shock dalam menggunakan fitur teknologi keuangan seperti pembayaran non tunai. Kita sering menemui banyak kejadian di mana masyarakat menjadi korban dari penipuan berbasis digital. 

Secara sosiologis, keberadaan cashless society tidak hanya akan memicu risiko ketidakamanan data maupun permasalahan kultural. Transaksi pasar identik dengan perilaku masyarakat di mana ini tercermin juga pada dasarnya dari kebiasaan berbelanja. Dengan kemudahan pembayaran non tunai, pasar online semakin meluas sehingga batasan ruang dan waktu sudah tidak menjadi permasalahan lagi dalam berbelanja. Fenomena modernisasi maupun posmodernisasi telah masuk ke dalam gaya hidup berbagai lapisan masyarakat. Fenomena terkait merupakan gambaran dari kemampuan sumber daya dalam kecakapan teknologi digital yang memicu munculnya pasar digital. Sayangnya, masyarakat menjadikan pasar sebagai tempat untuk melakukan jual beli tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan sudah bertransformasi sebagai pemenuhan gaya hidup. Transformasi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan kapitalisme yang melewati perkembangan cyberspace sehingga membawa masyarakat ke dalam arus perubahan yang begitu cepat. 

Budaya konsumsi yang diungkapkan oleh Baudrillard sederhananya dapat diartikan sebagai kebiasaan di mana masyarakat pada akhirnya tidak membeli nilai guna suatu barang, tetapi beralih kepada makna yang dimiliki oleh barang tersebut. Produksi makna berkembang secara masif melalui tayangan iklan di media sosial yang telah disebarluaskan oleh pemengaruh atau influencer.

Jika pada pasar konvensional masyarakat masih diberikan kesempatan untuk berpikir dalam berbelanja seperti adanya proses memberikan uang dan menerima kembalian, masyarakat digital melakukan persetujuan pembelian hanya dengan one click untuk mendapatkan produk dengan mengisi e-wallet yang telah disediakan baik yang bekerjasama dengan pihak Bank maupun non bank. Masyarakat digital mengalami pengurangan jarak dan pemadatan waktu sebagai realitas keseharian manusia kontemporer. Kondisi ini menimbulkan tindakan impulsif dengan ketidakmampuan masyarakat untuk sadar telah menghabiskan uang berbelanja karena mereka tidak mengalami proses berbelanja secara fisik. Tidak heran bahwa adanya cashless society telah meningkatkan budaya konsumerisme karena mereka merasa tidak diberi banyak waktu untuk berpikir dalam melakukan transaksi. 

Kondisi ini juga digambarkan oleh Virilio sebagai Ekstasi di mana kondisi larutnya manusia di dalam fenomena kebebasan dan pemenjaraan. Kecepatan membebaskan manusia dari berbagai hambatan seperti hambatan ruang dan waktu dalam menjalankan model kehidupan yang instan. Kondisi tersebut sekaligus juga memerangkap manusia dalam arus ketergantungan dan candu seperti promo yang diberikan jika menggunakan metode pembayaran tertentu. 

Era masyarakat non tunai menciptakan konsumerisme yang tinggi di kalangan masyarakat digital. Hal ini disebabkan juga karena kapitalisme tidak lagi dipandang sebagai semangat untuk menimbun profit secara konvensional. Era digital telah membuat kapitalisme ekonomi berganti menjadi kapitalisme informasi. Informasi yang disebarkan di media sosial juga menjadi sumber mata pencaharian melalui pemberian informasi kepada pengikut di berbagai media sosial. Bagaimanapun, cashless society menjadi efek berganda. Walaupun geliatnya masih rendah di Indonesia, apalagi di daerah pinggiran, pengaruhnya sudah mulai merasuki berbagai lapisan masyarakat. Entah akan memudahkan pekerjaan dan aktivitas kita atau malah menciptakan budaya konsumerisme. 

***

*) Oleh: Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bengkulu just now

Welcome to TIMES Bengkulu

TIMES Bengkulu is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.