Kopi TIMES

(Kiai) Moammar Emka dan (Stigma) Sosial Jakarta

Rabu, 07 Juni 2023 - 15:26
(Kiai) Moammar Emka dan (Stigma) Sosial Jakarta Mohammad Iqbal Imami, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Malang.

TIMES BENGKULU, MALANG*Urusan para santri dan misionaris yang paling suci bukanlah meratifikasi kehendak mayoritas akan tetapi melindungi minoritas dan tirani*.

Selama ini, Jakarta yang kita tahu adalah ameliorasi nama daerah administratif Ibukota negara Indonesia. Satu-satunya kota yang dijuluki J-Town atau The Big Durian. Bahkan sangat eksesifnya terhadap Jakarta ada yang bangga menyebutnya New York City (Big Apple) Indonesia.

Namun tidak dengan peyorasi Moammar Emka tentang Jakarta yang banyak menyimpan peristiwa dan kejadian yang amat terselubung. Hampir tersembunyi dan tidak banyak orang bisa menangkapnya, alih-alih melabuhinya. 

Jika mengenal Jakarta lewat pertunjukan seni, penataran budaya dan ekologi sosialnya merupakan entitas yang terlampau sering dikumandangkan. Identitas akan ke-jakarta-an yang selama ini menghegemoni masyarakat memang hanya seputar topik-topik yang beraroma budaya, deretan mall-mall megah, gagahnya penampakan Jakarta International Stadium (JIS), suasana deretan macet, dan bisingnya metropolitan, nyaris jarang tentang sisi gelap Jakarta ―Sosok ibukota dengan segala keasingannya. Sosok Jakarta dengan gemerlap prostitusinya. Sosok Sunda Kelapa yang menjelma ritus pendewasaan. 

Lewat bukunya Jakarta Undercover  4 in 1 yang berhasil merebut kemenangan dalam festival film Köln (Jerman) sebagai the best asian movie 2006 lalu. Meski sayangnya, film itu oleh sebagian oknum dianggap kontroversial ditayangkan di Indonesia dimana mayoritas warganya memeluk agama Islam. Namun yang perlu digaris bawahi, setidaknya liputan investigasi dunia malam yang tuntas dilakukan Moammar Emka bisa dijadikan bahan pengkajian, bahwa aroma ayat Allah “jangan pernah sesekali-pun mendekati perzinahan” terasa begitu konkrit. 

Mengingat kaidah ushul fiqih yang sering diserukan; Mala yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. Jika menghindari zina adalah wajib, mengidentifikasi rambu-rambu larangan itu pun hukumnya wajib. Maka blusukan ke ruas-ruas jalan Mangga Besar, Kota Dolly, Sunan Kuning, bahkan Kramat Tunggak pun hukumnya wajib. Bahkan menangkap istilah-istilah lady escort, private sex parties, striptis, seks drive thru, seks adiktif, one night stand, pijat plus-plus hukumnya pun wajib. 

Mengapa saya sebut Kiai? Hal ini menggoda, karena Moammar Emka adalah seorang penulis yang meskipun bandel Ia sempat mengenyam pendidikan agama di salah satu Pesantren di Montong Tuban. Lalu melanjutkan ke Madrasah Aliyah Denanyar, Jombang. Dan memperbaiki kualitas intelektualnya ke IAIN Jakarta. 

Pendidikan dasar itulah yang mengantarkan Moammar Emka menjadi seorang akademisi sekaligus kiai. Sosok penulis yang humanis dan integratif. Penuh empati merespon lingkungan sekitarnya. Dengan tulus memaknai secara luas fenomena kompulsif yang sejak lama menjangkit Jakarta. Karena Ia sadar bahwa Jakarta yang serba eksklusif hampir tidak pernah memberi kesenangan terhadap warganya! 

Dalam pada itu. Tulisan ini tidak secara spesifik bertujuan meresensi karya Moammar Emka. Jauh daripada itu, dengan menggunakan metode kepustakaan dan pertimbangan empiris untuk mengulur dua kesimpulan yang patut diteladani dari sosok Moammar Emka sebagai seorang santri. 

Pertama, santri sebagai well educated community (komunitas terdidik bangsa). Dengan latar belakang pendidikan yang secara piranti analisa bisa dianggap komplit. Dengan pemahaman akan keagamaan sudah pada taraf penghayatan yang komprehensif. Disamping dunia pesantren itu sendiri identik dengan budaya berfikir secara teknokratis. Sudah selazimnya, santri punya bekal menguraikan segala persoalan secara lateral lalu menyelidikinya menjadi satu hipotesis untuk diuji hingga menjelma rumusan solutif yang singkat dan padat. 

Kedua, santri sebagai misionaris. Poin kedua ini mengandung sekelumit harapan penulis. Sebagai misionaris pembaharu (mujaddid) idealnya harus cakap berdakwah secara divergen. Pendidikan skolastik yang diajarkan tiap pesantren seharusnya mengantarkan santri memecahkan persoalan-persoalan agama yang kaitanya tidak melulu soal halal dan haram. Dosa dan pahala. Lebih dari itu, menenangkan orang-orang disekitarnya. Melenyapkan kemungkaran tidak dengan kekerasan. Minimal tidak menghantui para bedebah dengan dosa-dosa yang menumpuk. Setidaknya menebarkan wawasan bahwa setinggi apapun dosa pasti ada rahmat dibaliknya. 

Bukan malah menjadi santri yang mengasingkan diri. Santri yang hanya saleh spiritual ―nyaris mengesampingkan saleh sosial. Bertahan di bawah naungan konsepsi yang egosentris. Meminjam adagium Jerinx, “kita hidup di bumi ini tidak menjadi atau merasa paling bermoral, paling beriman, paling suci, manusia semua sama”

Mengutip fatwa Syekh Ali Mahfudz dalam Hidayatul Mursyidin ila Thuruq al-Wa'zh wa al-Kitabah (h. 4) bahwa, Inna li ad-da'wah Hayatu Adyan wa ma qoma ad-din mi al Adyan Illa bi al Da’wa. Esensi keberhasilan dakwah salah satunya sangat bergantung pada kemampuan santri dalam membaca karakteristik mad’u (audien) dan memilih metode yang tepat dalam proses dakwahnya, di samping karakteristik dan kualitas dai juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu dakwah.

Maka asesmen ke lorong-lorong Jakarta adalah pelengkap proses dakwah. Berkenalan, berwawancara, berinvestigasi tentang gemerlap kehidupan kelam di Jakarta adalah komplemen dakwah. Disadari atau tidak, intelektual yang disopansantun-kan adalah bentuk nyata kesombongan. 

Sebagai penutup, menyadur puisi Rendra akan Jakarta; Bulan telah pingsan/ di atas kota Jakarta/ tapi tak seorang pun menatapnya. Bahkan karena sangat bersemangatnya mengejar dunia. Menyembah kapitalis. Bulan yang tengah pingsan di atas sana saja tak dipedulikan. Lantas siapa yang akan mengunggahnya? 

***

*) Oleh: Mohammad Iqbal Imami, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bengkulu just now

Welcome to TIMES Bengkulu

TIMES Bengkulu is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.