Kopi TIMES

Merespon Ancaman Overtourism

Rabu, 07 Juni 2023 - 11:13
Merespon Ancaman Overtourism Dr. Ahmad Faidlal Rahman, SE.Par., M.Sc; Dosen Fakultas Vokasi Universitas Brawijaya.

TIMES BENGKULU, MALANG – Beberapa tahun terakhir ini banyak media internasional maupun nasional menginformasikan isu pariwisata yang diklaim terus mengalami perkembangan pesat di beberapa negara.

Dalam narasi perkembangannya seringkali menjadikan jumlah kunjungan wisatawan, lama tinggal hingga besarnya pengeluaran wisatawan (tourist expenditure) di destinasi pariwisata sebagai indikator keberhasilan. Fenomena ini telah mendorong banyak negara berlomba-lomba secara kompetitif mendesain sumber daya pariwisata yang dimiliki sesuai dengan minat dan hasrat wisatawan berkunjung, bahkan juga melakukan promosi dengan berbagai saluran dan desain yang menarik wisatawan. 

Namun di tengah hingar-bingar cerita kesuksesan (success story) kunjungan wisatawan, kemudian muncul gerakan penolakan terhadap aktivitas wisata berlebihan (overtourism) yang dianggap membawa dampak negatif. Kondisi ini membuat masyarakat sekitar lokasi destinasi pariwisata resah dan kurang nyaman dengan kehadiran jumlah wisatawan. Keresahan ini seringkali mereka luapkan dalam bentuk sikap yang kritis, emosional, apatis hingga acuh tak acuh.

Pariwisata berlebihan (overtourism) akhir-akhir ini sedang menjadi topik diskursus yang ramai dibahas dan diperbincangkan, terutama di media-media Barat. Banyak pakar sosiolog dan pariwisata memberikan pengertian tentang overtourism, salah satunya adalah Goodwin (2017) yang menjelaskan sebagai situasi di mana penduduk lokal atau wisatawan merasa bahwa suatu tempat terlalu banyak dikunjungi dan akibatnya mengubah karakternya, kehilangan keasliannya (terutama untuk wisatawan) dan menyebabkan iritasi dan gangguan (terutama untuk penghuni). Pengertian ini sama halnya dengan The United Nation World Tourism Organization (UNWTO) - salah satu organisasi pariwisata yang bermarkas di

Madrid – yang mendefinisikan overtourism sebagai dampak dari pariwisata di sebuah destinasi yang mempengaruhi taraf kehidupan masyarakat lokalnya dan atau dampak negatif kepada pengalaman wisatawan itu sendiri dalam berlibur. Bahkan pula ada sebagian yang menghubungkannya (overtourism) dengan kemacetan dan kegagalan infrastruktur dan meningkatnya resistensi terhadap dan protes terhadap pariwisata di antara penduduk yang terpinggirkan dan pengungsi.

Konkretnya, overtourism merupakan fenomena membludaknya turis yang berkunjung ke suatu destinasi pariwisata, lebih-lebih di hari libur dan menjelang akhir tahun. Istilah ini digunakan untuk merangkum narasi terkait perspektif negatif terhadap turis yang berkunjung ke banyak tempat. Akibatnya, pariwisata berlebihan ini membuat banyak negara dan masyarakat merasa gerah hingga pada akhirnya melakukan penolakan, seperti yang terjadi di Amsterdam, Venezia, Dubrovnik, Barcelona, dan Islandia, dan sebagainya. 

Cerita pariwisata berlebihan banyak dialami oleh beberapa negara di Eropa dan Asia. Misalnya Venesia, yang merupakan kota yang berkembang pesat, rumah yang luas bagi masyarakatnya dan mereka pada awalnya merasa bangga dengan kedatangan turis-turis yang haus akan budaya. Namun dalam perkembangannya, turis-turis mulai membanjiri kota ini, bahkan tercatat sebanyak 20 juta wisatawan yang datang setiap tahunnya.

Banyaknya wisatawan yang berkunjung yang melebihi penduduk lokal ini menyebabkan kerusakan bangunan dan infrastruktur serta menghambat penduduk setempat untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, sehingga dirasa kurang menyenangkan bagi masyarakat lokal. Akibatnya,  sejumlah penduduk asli memilih untuk meninggalkan Venesia. Kondisi inilah menjadikan Venesia masuk dalam daftar “in danger” oleh Warisan Dunia UNESCO pada bulan Februari 2017 dan dianggap terancam kelestariannya.

Selain Venesia juga terjadi di Jepang– salah satu negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat di dunia, dimana pada tahun 2008 memiliki target mendatangkan 20 juta wisman pada tahun 2020. Namun pada tahun 2017 lalu, Jepang telah berhasil melampaui target tersebut dengan total 28 juta wisman. Banyaknya kunjungan wisatawan tersebut ternyata tidak semua masyarakat Jepang mendapatkan keuntungan dan manfaat (benefit), bahkan masyarakat menganggap wisatawan sebagai polusi di negaranya.

Kondisi inilah menjadi pemicu bagi beberapa pengelola objek wisata menolak untuk menerima kunjungan wisatawan secara berombongan, apalagi jika mereka (wisatawan) bukan berasal dari Jepang. Misalnya objek wisata Kuil Nanzoin di Sasaguri, yang terkenal karena patung Buddha tidurnya yang besar telah memasang tanda larangan mengunjungi di sekitarnya dan stasiun terdekat.

Alasan pelarangan sebagaimana dikemukakan oleh Kakuio Hayashi (65), imam kepala Kuil Nanzoin, berawal dari adanya insiden ketika Kuil Nanzoin mendapat kunjungan dari 20-30 bus wisatawan mancanegara setiap harinya. Turis yang masuk tersebut bukan hanya datang dan melihat-lihat, tetapi malah bersikap tidak sopan dan menyalakan musik dengan kencang, memercikkan air di sekitar air terjun yang digunakan untuk beribadah, serta ada salah seorang turis yang menaiki atap bangunan kuil. 

Lain halnya cerita pariwisata berlebihan di Indonesia, dimana akhir-akhir ini media ramai memberitakan adanya penolakan dari masyarakat suku Baduy di Banten yang menolak daerahnya disebut destinasi pariwisata nasional. Penolakan ini dikarenakan masyarakat merasa sangat terganggu dengan hilir mudik wisatawan yang datang ke daerahnya, apalagi tidak menjaga kelestarian alam dan membuang sampah sembarangan.

Di Flores juga, masyarakat menolak pembangunan sarana wisata swasta yang dibangun oleh investor luar di area Taman Nasional Komodo karena dianggap mengganggu kelestarian komodo dan meminggirkan penduduk asli yang sudah lama tinggal. Kemudian penolakan dari masyarakat pernah terjadi di Bali terkait rencana reklamasi Teluk Benoa. Sebagian masyarakat Bali menginginkan Tanjung Benoa tetap menjadi daerah konservasi untuk menyeimbangkan pembangunan yang masif di Bali bagian selatan. 

Beberapa penolakan terhadap overtourism di setiap negara berbeda-beda tergantung pada persoalan mendasar (basic problem) yang dihadapi. Misalnya, baru-baru ini muncul sebuah website informasi perjalanan wisata, Fogor asal Inggris yang menginformasikan daftar tempat yang harus dikunjungi dan tidak boleh dikunjungi di tahun 2020. Alasan yang disampaikan untuk “Jangan Dikunjungi” lebih karena faktor keamanan, politik, overtourism, sampai wacana tiket masuk yang dinilai kemahalan. Ironisnya, dalam daftar tersebut terdapat beberapa nama destinasi pariwisata yang dianggap overtourism, seperti: Angkor Wat di Kamboja, Big Sur di California, dan Bali di Indonesia.

Solusi untuk Mengatasi Overtourism

Fenomena Overtourism yang ditandai dengan membludaknya wisatawan yang melebihi daya dukung destinasi pariwisata membuat wisatawan yang berkunjung kurang bisa menikmati suasana dan pemandangan, bahkan masyarakat setempat kurang nyaman. Beberapa dampak sebagai akibat dari overtourism yang berupa kemacetan, menumpuknya sampah, kurangnya tingkat keamanan hingga terjadinya ketimpangan perekonomian perlu dicarikan solusi dengan tetap memperhatikan keamanan dan kenyamanan wisatawan.

Solusi yang dapat ditawarkan agar overtourism terhindari, yakni Pertama, penataan destinasi pariwisata. Sebuah daerah atau kawasan yang akan dikembangkan sebagai destinasi atau kawasan pariwisata, terlebih dahulu perlu dipersiapkan dokumen perencanaan yang matang dan terintegratif. Dokumen ini sebagai referensi bagi semua stakeholder pariwisata yang akan membangun daya tarik dan aktivitas wisata serta sarana pendukung pariwisata di dalamnya. Melalui dokumen ini, semua tahapan dan arahan pembangunan akan terpotret dengan jelas, sehingga pembangunan tidak menjadi liar dan mengabaikan karakteristik kewilayahan menjadi kurang jelas.

Kedua, promosi beragam destinasi pariwisata. Promosi wisata tidak hanya fokus pada satu destinasi pariwisata saja untuk mengindari terjadinya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan. Karenanya, kegiatan promosi wisata perlu dilakukan secara bersama-sama terkait destinasi pariwisata dengan mengangkat keunikan dan kekhasan yang dimiliki pada masing-masing destinasi pariwisata.

Ketiga, pembatasan jumlah kunjungan (individu atau kelompok). Setiap destinasi pariwisata memiliki daya dukung wisata yang terbatas, sehingga ketika banyak wisatawan yang berkunjung dan melebihi daya dukung tersebut maka berpotensi terjadi overtourism. Karena itu, pembatasan jumlah kunjungan menjadi penting untuk dilakukan agar supaya terhindar dari membludaknya kunjungan wisatawan, salah satu cara yang bisa dilakukan yakni dengan penerapan pembelian tiket secara online.

Keempat, penerapan biaya tiket masuk yang mahal. Pemberlakukan biaya tiket yang mahal berpotensi dapat mengurangi jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke destinasi pariwisata. Jika wisatawan tetap datang berarti meraka (wisatawan) memang memiliki banyak uang untuk berkunjung dan sangat tertarik untuk mengetahui destinasi pariwisata yang dikunjungi.

Kelima, pembatasan jam operasional. Penerapan jam operasional menjadi solusi tepat (right solution) yang perlu diberlakukan, sehingga wisatawan tidak seenaknya berkunjung ke destinasi pariwisata.

Dan Keenam, pembatasan fasilitas pariwisata. Terjadinya overtourism tidak hanya ditandai dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung, tetapi juga fasilitas pariwisata yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang datang. Pembatasan pembangunan fasilitas pariwisata juga perlu dibatasi sehingga dapat menekan wisatawan untuk tidak berlama-lama berkunjung di destinasi pariwisata.

Beberapa tawaran solusi di atas dapat menjadi pertimbangan bagi semua pihak yang berkeinginan untuk membangun daerah sebagai daerah tujuan wisata. Solusi ini sebagai bentuk upaya preventif agar destinasi pariwisata yang akan dibangun dapat terhindar dari cengkraman overtourism sebagaimana melanda beberapa destinasi pariwisata lainnya yang berimplikasi pada ketidaknyamanan masyarakat sebagai tuan rumah (host).

Oleh sebab itu, penyiapan dan penataan yang baik menjadi pilihan penting untuk dilakukan demi terciptanya destinasi pariwisata yang berkualitas, berkelanjutan dan menyejahterakan.  

***

*) Oleh: Dr. Ahmad Faidlal Rahman, SE.Par., M.Sc; Dosen Fakultas Vokasi Universitas Brawijaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bengkulu just now

Welcome to TIMES Bengkulu

TIMES Bengkulu is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.