https://bengkulu.times.co.id/
Kopi TIMES

Di Balik Pendidikan Gratis, Masih Terdapat Masyarakat Miskin yang Terbebani

Jumat, 26 Juli 2024 - 09:22
Di Balik Pendidikan Gratis, Masih Terdapat Masyarakat Miskin yang Terbebani Rivan Efendi, Staf Pengurus Harian Dayah Modern Ihyaaussunnah

TIMES BENGKULU, ACEH – Mengurus keponakan yang baru masuk Sekolah Dasar (SD) Negeri membuka mata saya terhadap realita biaya pendidikan dasar di Indonesia. Saat pertama kali melihat rincian biaya yang harus dikeluarkan, saya terkejut dengan besarnya nominal yang diperlukan. Meski sekolah negeri dikenal dengan keringanan biayanya, kenyataannya masih banyak pengeluaran yang harus dipenuhi oleh orang tua.

Hal ini tidak hanya membuat saya khawatir tentang biaya yang harus dikeluarkan, tetapi lebih miris membayangkan bagaimana beban ini harus ditanggung oleh keluarga-keluarga yang di bawah garis kemiskinan.

Beban Biaya Pendidikan di Sekolah Negeri

Sekolah negeri sering dianggap lebih terjangkau dibandingkan sekolah swasta karena tidak adanya biaya SPP bulanan dan biaya pembangunan yang tinggi. Namun, perbandingan biaya ini sering kali menyesatkan karena sekolah negeri juga memiliki berbagai pengeluaran tambahan yang signifikan.

Pengeluaran utama mencakup seragam sekolah (baju hitam putih, baju pramuka, baju muslim), peralatan sekolah (sepatu, kaos kaki, buku tulis, alat tulis), serta biaya untuk berbagai peralatan yang harus dibeli di sekolah seperti baju olahraga dan baju batik.

Tidak hanya itu, mereka juga harus menyiapkan biaya untuk kebutuhan agar sang anak tetap aktif bersekolah, seperti biaya transportasi, jajan harian, dan membeli berbagai bahan belajar lainnya.
Sehingga, total biaya yang dikeluarkan bisa mencapai jumlah yang cukup besar, yang tentu saja menjadi beban bagi keluarga dengan keterbatasan finansial.

Beban Ekonomi bagi Masyarakat Kelas Bawah

Menurut Badan Pusat Statistik, pada Maret 2023, persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,36%. Jumlah penduduk miskin pada saat itu mencapai 25,90 juta orang. Meskipun terjadi penurunan sebesar 0,21 poin persentase atau 0,46 juta orang dalam jumlah penduduk miskin dibandingkan periode sebelumnya, angka ini masih menunjukkan bahwa puluhan juta masyarakat masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Bagi masyarakat miskin, memenuhi biaya pendidikan anak-anak menjadi tantangan besar. Ketidakmampuan finansial sering kali membatasi akses mereka terhadap pendidikan yang layak, berbeda dengan masyarakat kelas menengah atau atas yang memiliki sumber daya lebih baik. 

Dalam sebuah publikasi Badan Pusat Statistik mengenai "Kesejahteraan Anak Indonesia: Analisis Kemiskinan Anak Moneter 2022", ditemukan beberapa hal penting terkait anak usia sekolah dari keluarga miskin:

Pertama, Akses pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin sering menghadapi tantangan dalam mengakses pendidikan. Kemiskinan dapat membatasi akses mereka ke fasilitas pendidikan, buku, dan peralatan belajar. Akibatnya, anak-anak ini mungkin mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal.

Kedua, Kesejahteraan psikososial. Kemiskinan dapat memengaruhi kesejahteraan psikososial anak-anak. Ketidakstabilan ekonomi dan stres yang dialami oleh orang tua miskin dapat berdampak negatif pada perkembangan emosional dan mental anak-anak.

Ketiga, Kesehatan dan gizi. Anak-anak dari keluarga miskin lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Keterbatasan akses ke makanan bergizi dan layanan kesehatan dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Keempat, Peluang masa depan. Kemiskinan dapat membatasi peluang masa depan anak-anak. Anak-anak yang tumbuh dalam kondisi ekonomi yang sulit mungkin memiliki kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang lebih terbatas.

Kebijakan dan Realita Pendidikan Inklusif

Pemerintah telah mencanangkan kebijakan pendidikan inklusif dan gratis di sekolah negeri, serta berbagai program bantuan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Menurut Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas No 20/2003, "Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya". Pasal ini jelas mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bebas biaya.

Namun, kenyataannya masih banyak orang tua yang harus mengeluarkan biaya yang relatif besar agar dapat menyekolahkan anaknya. Perluasan program bantuan pendidikan dan peningkatan transparansi serta efektivitas distribusi bantuan sangat diperlukan. Pemerintah harus memastikan bantuan benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan.

Harapan terbesar kita sebagai masyarakat adalah adanya perubahan kebijakan yang lebih adil dan inklusif. Semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta, harus berperan aktif dalam menciptakan sistem pendidikan yang inklusif agar setiap anak Indonesia dapat merasakan pendidikan dan meraih masa depan yang lebih baik.

***

*) Oleh : Rivan Efendi, Staf Pengurus Harian Dayah Modern Ihyaaussunnah.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bengkulu just now

Welcome to TIMES Bengkulu

TIMES Bengkulu is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.