Kopi TIMES

Memaknai Peran PK Bapas sebagai Socio-Equilibrium dalam UU Pemasyarakatan dan KUHP

Senin, 22 Mei 2023 - 13:40
Memaknai Peran PK Bapas sebagai Socio-Equilibrium dalam UU Pemasyarakatan dan KUHP Okki Oktaviandi S.Tr.PAS., S.H., M.H.; Pegawai Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

TIMES BENGKULU, JAKARTA – Lato-Lato Permainan Keseimbangan. Pernah dengar istilah lato-lato? Permainan tek-tek (Bahasa Jawa) ini pertama kali ditemukan di Amerika Serikat dengan sebutan aslinya adalah clackers. Permainan yang dikenalkan pertama kali kepada anak-anak untuk melatih koordinasi antara tangan dan mata ini, terus berkembang tanpa terkecuali di Indonesia hingga ke pelosok tanah air.

Belakangan ini, permainan ini mulai digemari dan menjadi viral di kalangan masyarakat Indonesia karena permainan ini dianggap mudah dan sederhana jika dimainkan. Namun, siapa sangka dibalik kesederhanaan permainan ini, penulis menyadari bahwa ada sebuah keseimbangan yang timbul dari permainan lato-lato.

Hal tersebut terjadi ketika dua bola tersebut hendak digerakkan dengan sebuah gaya yang dihubungkan dari sebuah tali. Jika gaya yang ditimbulkan oleh kedua bola tersebut adalah sama, maka bola yang dipantulkan akan membentuk lingkaran yang sempurna. Namun, jika gaya yang dihasilkan berbeda, maka bola tersebut tidak mampu memantulkan dan membentuk lingkaran yang sama. Untuk itulah diperlukan sebuah keseimbangan dan koordinasi untuk membentuk pola yang sama agar bola tetap memantul dan membentuk lingkaran yang sempurna.

Hal tersebut equivalen dengan memaknai sebuah fungsi dari Peneliti Kemasyarakatan atau PK dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) di dalam peranannya sebagai socio-equilibrium pada sistem peradilan hukum di Indonesia, di mana PK Bapas menjadi penyeimbang dalam rantai penegakkan hukum untuk mewujudkan kehidupan yang adil, tertib dan sejahtera. Lebih jauh, PK Bapas juga memegang peranan penting dalam mengawal peradilan hukum di Indonesia, yakni; harus mampu menjamin keadilan didalam masyarakat (guarantee justice in society), menciptakan ketentraman hidup melalui kepastian hukum (creat alive pladicity) serta mewujudkan kegunaan (realize use), dalam aplikasi kehidupan nyata di masyarakat secara konkrit dan efisien.

Dengan lahirnya Undang-Undang Pemasyarakatan dan KUHP, semakin menguatkan peran PK Bapas dalam penegakkan hukum yang seimbang. Pembaharuan hukum harus merujuk kepada kepastian hukum bagi masyarakat, bukan sekedar muatan atau aturan yang semu, namun lebih jauh bagaimana aplikasi hukum tersebut dapat menjadi penyeimbang dan justifikator terhadap keadilan masyarakat.

Hadirnya PK Bapas diharapkan menjadi pionir penyeimbang, mereformasi hukum menjadi panglima, serta memulihkan kesatuan hidup bagi masyarakat. Akhirnya, penulis merangkai artikel ini untuk menguraikan bagaimana peran PK Bapas menjadi socio-equilibrium dalam sistem peradilan hukum di Indonesia.

Mengawal PK Bapas dalam Sistem Peradilan Pidana

Pemidanaan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dalam pelaksanaannya dinilai tidak mampu memberikan dampak yang signifikan bagi keberlangsungan hukum di Indonesia. Dampaknya, adalah penjara yang sesak (overcrowded), lahirnya sekolah kejahatan (prisonization), pembinaan yang semu, serta merenggangkan hubungan pelaku hukum dengan masyarakat.

Lantas, model hukum seperti apa yang perlu kita adaptasikan di Indonesia agar pemberian hukum nantinya akan menjawab masalah yang dihadapi saat ini?

Kita perlu melihat lebih jauh terhadap negara yang dulunya pernah memperkenalkan pidana penjara pertama kali dan membawa pengaruh kolonialisme di Indonesia. Negara tersebut kini telah mereformasi hukumnya sehingga menjadi salah satu negara yang berhasil mengendalikan laju kejahatan di dunia. Jika rata-rata negara didunia memiliki jumlah kepadatan hunian terhadap penjaranya, negara ini justru sebaliknya.

Bahkan, penjaranya di swastanisasikan alias di sewa untuk digunakan oleh negara lain. Pertanyaannya, bagaimanakah sistem hukum yang dibangun oleh negara tersebut sehingga negara tersebut mampu mengendalikan jumlah laju kejahatan termasuk proses pembinaan terhadap masyarakatnya yang melanggar hukum? Jawabanya adalah ada di Peran Petugas Balai Pemasyarakatan.

Ringkasnya, Negeri Kincir Angin ini menggunakan pendekatan restoratif, dimana hakim dalam memberikan vonis putusan terhadap pelaku di tiga tahap peradilan yakni pra,adjudikasi dan pasca-adjudikasi menggunakan rekomendasi dari PK Bapas. Para aparat hukumnya pun sepakat bahwa penyelesaian hukum adalah berdasarkan hasil rekomendasi yang didapatkan dari proses profiling dan asesmen yang dilakukan oleh PK Bapas.

Apakah pelaku tersebut mendapatkan pembinaan sebelum vonis pengadilan, ataukah harus di laksanakan pembinaan melalui tembok penjara. PK Bapas tentu mempunyai andil yang besar pada proses penilaian ini. Rekomendasi PK ini menjadi acuan dalam menentukan proses pembinaan tersebut. Lebih lanjut, PK Bapas pun menginisiasi proses mediasi antara stakeholder dan juga pihak keluarga sehingga tercapai kesepakatan dimana pemidanaan yang diberikan nanti bukanlah sebuah balasan, namun lebih kepada pembinaan kepribadian dan masa depan pelaku.

PK Bapas akhirnya menjadi justifikator dan juga penyeimbang dalam proses penegakkan hukum yang lebih humanis dan efektif. Inilah yang menjadi landasan filosofis hukum bagaimana negara kolonial tersebut mereformasi hukumnya menjadi negara yang penyelenggaraan hukumnya lebih transparan dan humanis. Alhasil, negara ini mampu mengendalikan kejatahatan dengan menggunakan upaya restorative justice. Namun, bagaimanakah dengan Indonesia? Mampukah Indonesia menerapkan sistem seperti yang dilakukan negara Belanda?

Setelah hampir setengah abad atau tepatnya 42 tahun, barulah Indonesia berhasil melakukan kodifikasi terhadap Undang-Undang KUHP sehingga menjadi sebuah padanan hukum yang semakin transparan, responsif dan transformatif. Perubahan Undang-Undang KUHP yang baru ini, sejalan dengan pembaharuan Undang-Undang Pemasyarakatan yang telah disahkan sejak tahun 2022 yang lalu. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana kiprah Bapas dalam menglegitimasikan hukum pemidanaan menggunakan pendekatan restorative justice yang akhirnya memberikan solusi terbaik atas proses hukum di negara Indonesia.

Melekatnya tugas PK Bapas dalam pembaharuan Undang-Undang sangat tentu memberikan sinyal positif dan ketegasan terhadap paradigma hukum dimana, pemidanaan adalah bukan menjadi kunci mengendalikan kejahatan namun dengan proses Pemasyarakatanlah yakni reintegrasi sosial adalah jalan keluar dalam mengatur laju kejahatan di tanah air. Untuk itulah, kehadiran Undang-Undang ini akan mendukung transformasi hukum melalui peran PK Bapas dalam Undang-Undang KUHP dan Pemasyarakatan.

Lalu, bagaimanakah muatan materi Undang-Undang KUHP dan Undang- Undang Pemasyarakatan mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap pelaksanaan hukum di Indonesia?

Mari kita analisis secara singkat. Pertama, Penjelasan Pasal 51 dalam KUHP telah menjustifikasikan bahwa sejatinya pemidanaan itu adalah untuk menegakkan norma hukum dan pengayoman kepada masyarakat, memasyarakatkan terpidana melalui pembinaan dan pembimbingan, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan serta mendatangkan rasa aman dan damai masyarakat.

Hingga pada akhirnya menumbuhkan rasa penyesalan terhadap terpidana. Selanjutnya, hal tersebut berkelindan dengan apa yang tertulis pada butir-butir ayat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Pada Pasal 2, dimana pemidanaan adalah untuk memberikan jaminan pelindungan terhadap terpidana, memberikan pembinaan dan pembimbingan kepada mereka (terpidana) agar tidak mengulangi tindak pidana, serta mencegah pengulangan tindak pidana di masyarakat.

Kedua, Pasal 53 KUHP menjelaskan bahwa Hakim dalam memutus perkara, wajib menegakkan hukum dan keadilan, namun jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka hakim wajib mengutamakan keadilan. Selanjutnya, dengan pertimbangan sejumlah aspek seperti yang tertulis di Pasal 54 KUHP, maka hakim dapat mengadili perkara dengan melihat ringannya perbuatan keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Senada dengan pemberian hukuman yang lebih humanis melalui pendekatan kepada proses penyelesaian perkara secara adil (restorative justice) sesuai pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Hadirnya PK Bapas dalam proses pendampingan, pembimbingan dan pengawasan sesuai pasal 56 Undang-Undang ini, maka PK Bapas mempunyai rekomendasi khusus berupa dokumen penelitian kemasyarakatan (litmas) yang digunakan pada proses peradilan hukum.

Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum pada pasal 54 KUHP tentang pertimbangan hakim dalam memutus perkara pengadilan melalui rekomendasi litmas. Litmas akan menerangkan sejumlah keterangan terpidana baik kondisi dan latar belakang pelaku, serta motivasi melakukan tindak pidana. Pada akhirnya, melalui dokumen inilah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara pengadilan.

Penjelasan kedua Undang-Undang tersebut, telah mengisyaratkan bahwa Pemasyarakatan dalam pembaharuan hukum menjadi sebuah jawaban atas pemidanaan yang dilaksanakan di Indonesia. Bagaimana proses pembinaan dan pembimbingan oleh PK Bapas terhadap terpidana diharapkan mampu menyadarkan pelaku, menyelesaikan konflik antara pihak yang bertikai, memulihkan hubungan demi rasa aman dan kepastian hukum dan keadilan kepada masyarakat.

Peran dan tanggung jawab PK Bapas menjadi socio-equilibrium akan mengejawantahkan proses pemidanaan seutuhnya dengan mengaplikasikan pemasyarakatan dalam sistem peradilan hukum. Pemasyarakatan akan menjadi bentuk transformasi hukum yang paling ideal dan akan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat demi tegaknya keadilan.

Akhirnya, penulis menuturkan bahwa bagaimanapun hukum bukanlah satu-satunya solusi, namun keadilan masyarakatlah menjadi juaranya. Kerasnya tembok penjara itu harusnya tidak mengendapkan niat para penegak hukum untuk terus memenjarakan. Tembok penjara hanyalah menjadi sarang kejahatan, membentuk kepribadian penjahat/prisonisasi, serta merenggangkan kesatuan hidup antara pelaku dengan masyarakat. Sejatinya, pelaksanaan hukum yang berkeadilan merupakan tanggung jawab bersama bukanlah untuk kepentingan antarorganisasi tertentu saja.

***

*) Oleh: Okki Oktaviandi S.Tr.PAS., S.H., M.H.; Pegawai Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bengkulu just now

Welcome to TIMES Bengkulu

TIMES Bengkulu is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.